Kemerdekaan sejati suatu bangsa tidak hanya diukur dari lepasnya penjajahan, melainkan juga dari kualitas sumber daya manusianya dan kualitas pendidikannya. Indonesia memang telah merdeka 80 tahun, namun pertanyaan besarnya masih relevan untuk kita renungkan sudah merdeka kah pendidikan kita hari ini? Pertanyaan ini sangat mendasar sebagaimana Ki Hajar Dewantara pernah mengatakan bahwa pendidikan sejati adalah proses memerdekakan manusia, baik lahir maupun batin. Namun, realita pendidikan kita hari ini justru sering menunjukkan hal yang berlawanan. Ruang untuk berpikir bebas, berpendapat, dan berekspresi masih sering terbatasi. Banyak orang mungkin beranggapan bahwa pendidikan Indonesia sudah merdeka karena adanya Kurikulum Merdeka Belajar. Akan tetapi, pada kenyataannya yang merdeka baru sebatas kurikulum-nya, sementara esensi pendidikan itu sendiri masih terikat pada berbagai belenggu.
Semakin memperkuat kerisauan kita soal merdekakah pendidikan. Di daerah 3T Tertinggal, Terpencil, dan Terluar sekitar 25% sekolah berlokasi di zona terpencil dengan fasilitas yang jauh dari kata ideal. Hanya sekitar 37% sekolah yang memiliki sarana memadai, sementara sisanya kekurangan ruang kelas, perpustakaan, listrik, dan akses internet. Lebih parah lagi, sekitar 60,6% ruang kelas SD dalam kondisi rusak ringan hingga sedang, dan lebih dari 3,5 juta siswa belum bisa belajar di lingkungan yang layak. Di sisi lain, infrastruktur yang kurang memadai dan akses fisik yang kurang membuat rata-rata lama sekolah di desa hanya mencapai 7,2 tahun jauh di bawah rata-rata kota yang mencapai 10,5 tahun. Bahkan sekitar 42% anak di daerah terpencil sama sekali tidak bersekolah karena faktor jarak dan ekonomi. Ditambah lagi, lebih dari sepertiga sekolah di Indonesia belum memiliki akses internet, sementara di banyak sekolah pedesaan, tidak tersedia perangkat digital sama sekali hal ini semakin menghambat integrasi teknologi dalam pembelajaran.
Sementara itu, para guru ditambah dengan begitu banyaknya beban administrasi yang menumpuk membuat guru lebih banyak mengurusi dokumen daripada mendidik siswa. Hasil Survei menunjukkan sebagian besar guru merasa kewalahan dengan dokumentasi, hingga pemerintah akhirnya mengubah sistem pelaporan agar hanya dilakukan sekali setahun. Selain persoalan fasilitas dan akses, pembelajaran di sekolah juga masih menghadapi berbagai tantangan. Data PISA 2022 menunjukkan Indonesia berada di peringkat 69 dari 81 negara dalam literasi, dan 71 dalam matematika. Ini menandakan pembelajaran kita masih berorientasi pada hafalan dan ujian, bukan pada pengembangan kemampuan berpikir kritis. Ketimpangan mutu pembelajaran antara kota dan desa juga mencolok, di mana skor siswa perkotaan rata-rata 50 poin lebih tinggi dibandingkan siswa di pedesaan. Di sisi lain, penelitian Kemendikbudristek tahun 2021 menyebut lebih dari 70% pembelajaran masih berpusat pada guru, sehingga siswa kurang terlibat aktif dalam proses belajar. Walaupun Kurikulum Merdeka telah diperkenalkan, praktik di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran kita belum sepenuhnya membebaskan siswa dari belenggu cara belajar lama.
Untuk memperbaiki persoalan pendidikan yang begitu kompleks, maka pemerintah harus lebih serius membangun sekolah yang layak di daerah-daerah terpencil. Dan juga para guru jangan terlalu dibebani administrasi, agar bisa fokus mengajar. Selain itu, kurikulum baiknya sesuaikan dengan kebutuhan siswa, karena dengan begitu proses pembelajaran akan terasa menyenangkan dan kondusif. Indonesia memang sudah lama merdeka akan tetapi, pendidikan kita masih berjuang menuju kemerdekaan yang sesungguhnya. Fasilitas sekolah yang tidak merata, guru yang dibebani administrasi, dan kebijakan yang selalu berubah-ubah menunjukkan bahwa jalan kita masih panjang.